Malam itu
tidak hal yang spesial namun menggugah naluri tentang keingintahuan mengenai
apa yang sedang sebenarna terjadi akhir ini terkait dengan permilihan presiden
yang akan berlangsung sebentar lagi di negeri ini. Tulisan ini bukan artikel
ilmiah yang layak untuk diperdepatkan kevalidannya. Namun ini adalah tulisan
untuk mendokumentasikan keresahan segelintir genreasi muda. Dan sedikit memntik
keingin tahuan dan menggugah kepedulian di belantara skeptisme yang kini sudah
menyebar luas.
Sudah lama
sekali kiranya penulis tidak berbicara mengenai keresahan yang ada di dalam
diri dan mendiskusikannya. Kerinduan akan rak buku menulis, berdiskusi, perpustakaan,
toko buku ala mahasiswa menjadi elemen yang sedikit menghilang karena kesibukan
kerja dan rutinitas.
Kadang
menjadi aku terus bersukur adalah pekerjaanku saat ini sangat dekat
mereka-mereka yang resah dengan kedaan yang ada disekeliling mereka. Mereka
yang selalu bertanya dengan jujur tetang apa yang mereka rasakan, dan merasa
bahwa uang itu hanyalah selembar kertas bisu dan tidak membiarkan mereka
mengendalikan pikiran ini. Mindset yang terbentuk oleh kelompok manusia modern
yang mengatasnamakan martabat.
Setidaknya
malam ini aku ingin mencurahkan apa yang aku rasakan setelah diskusi panas itu
berlangsung. Berikut cuilannya:
Itu semua di
awali dengan pebicaraan mengenai Debat Capres yang beberapa hari yang lalu dilaksanakan
kembali. Perang mulut antra dua belah kandidat yang disajikan dalam diskusi
terhormat menjadi tontonan yang ditunggu oleh kalangan tertentu, yang
sebenarnya kurang mempengaruhi hasil akhir dari pemilu yang beberapa hari lagi
akan dilaksanakan.
Agaknya,
memilih capres adalah seperti memilih apel busuk di keranjang. Dua-duanya
dipetik pada masa yang sama namun di lumbung yang berbeda dan tentunya pohon
yang berbeda. Tinggal kejelian kita dalam melihat, apel mana yang masih bisa
kita nikmati dan mana mereka yang masih memiliki daging yang bisa dimakan untuk
sekadar mengisi perut yang lapar.
Begitu pula
calon-calon yang presiden dengan janji janji manis dan borok masa lalu yang
dikemas dalam utopia visi misi yang lezat disajikan di depan para rakyat yang
kelaparan. Mereka yang sudah lapar menunggu pemimpin yang bisa membawa mereka
menuju kondisi yang lebih baik lagi dan lebih bermartabat. Pemimpin yang bisa
mengayomi bukan pemimpin yang selalu bersembunyi dibalik kewibawaan di tengah
rakyat yang tengah menjerit kesakitan karena jengah dengan orang – orang keminter itu.
Permasalahan
yang terhampar luasnya siap menjadi hidangan pertama bagi siapa saja yang terpilih
menjadi nahkoda di anjungan yang bernama Indonesia. Lambung kapal yang bocor
gara-gara kita lebih memilih untuk menggunakan kayu keropos untuk menambalnya,
layar yang terkoyak karena angin yang berhembus terlalu kencang dan nahkoda
sebelumnya tidak tahu kemana arah seharusnya untuk menjaga agar anjungan ini
terus berlayar.
Masih
ingatkah kita dengan doktrin NKRI Harga Mati?? Doktrin yang sebenarnya sering
kita dengarkan. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali para tikus parlemen kita
selalu mengatakan pentingnya nasionalisme ditanamkan kepada generasi muda.
Namun dibelakang pangung dengan bangganya mereka terus melelang kekayaan bumi
pertiwi kepada konglomerat – konglomerat asing.
Mereka berkata pentingnya partisipasi politik aktif para rakyatnya namun
di panggung mereka dengan asiknya bagi – bagi bingkisan bagi kolega mereka
masing-masing.
Sekarang
kini aku sadar kalau sekarang demokrasi pancasila sudah mati, UUD 45 sudah
tidak pernah menjadi panglima di negeri ini lagi. Bagaimana bisa amanat para
pendiri bangsa ini teracuhkan sedemikian lamanya. Bagaimana bisa negeri yang
selalu dielu-elukan sebagai surga di dunia ini bahkan tidak bisa memenuhi
kebutuhan manusia yang berdiri di atasnya. Berikut ini adalah sedikit mencoba
menyegarkan ingatan kita pada pasal yang dulu menjadi hafalan wajib di sekolah
dasar (setidaknya pada masa penulis di bangku SD):
Pasal 33 UUD 45
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasrkan atas asaz kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
- Bumi, air dan kekakyaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan pergunakan sebenar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
- Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang
Dari pasal
tersebut seharusnya menjadi pondasi kebijakan yang menjadi anaknya seperti UU
atau bahkan perpres/kepres. Dasar pembuatan UU sumber daya air, mineral,
pertambangan, komunikasi, tekonologi dan seterusnya. Namun mari kita simak
fakta terbingkis dalam pertanyaan kristis yang kita sajikan dalam meja gulai
kepala ikan:
- Masih ingatkah kita dengan detik-detik pada saat Indonesia keluar dari anggota OPEC (Ikatan bangsa-bangsa pengasil minyak bumi), tidakkah kamu bertanya-tanya setelahnya? Alasan yang masih penulis ingat adalah alasan bahwa kita tidak bisa memenuhi target OPEC dalam meningkatan produksi minyak bumi dunia. Namun tidak lama setelah itu segudang nama-nama perusahaan asing berbondong-bondong menlancong ke negeri ini dan mebangun Istana Minyak mereka masing –masing. Tidakah semenjak kita keluar dari anggora OPEC, mengaburkan tingkat produksi minyak kita setiap tahun? Lalu apa yang menarik para investor minyak datang ke Negeri yang menjadi Ex-Anggota OPEC? Asumsi besarnya adalah abu-abukah kini kita melihat sekuat apa potensi negeri ini dalam bidang pertambangan dan mineral bumi?
- Pemerataan Pembangunan menjadi permasalhan yang tidak kunjung menemukan Jalan terang. Hingga kini Pulau Jawa selalu menjadi magnet pertumbuhan. Kita bisa mendapatkan apa saja disini mulai dari baju, penghidupan yang layak. Namun apakah kita sadar banyak saudara kita yang kini sedang tidur tanpa makanan diperutnya di sebarah timur Indonesia sana? Mereka yang harus berenang, menuruni bukit, melewati belantara untuk menggapai kelas di sekolah mereka? Kenapa Indonesia timur dengan segala kontribusi kekayaan alam yang mereka miliki bagi negeri ini selalu dianak tirikan dalam hal pembangunan?
- Pelanggaraaan HAM, Marilah kita kembali pada Pancasila yang menjadi pondasi pendefinisian kita mengenai apa itu demokrasi untuk kita sendiri. Kemanusiaan yang adil dan beradap adalah salah satu komponen penting bukan? Namun berapa banyak kasus pelanggaran HAM yang dimentahkan dan tidak tahu ujungnya bagaimana. Bagaimana akhir adari bab kasus Munir? Kasus 98? Kerusuhan Mei? Marsinah? Dan belum lagai segudang pemberondongan senapan TNI di bumi papua yang dulu bernama Irian Jaya? Dan lain sebagainya.
- Dan.... Fakta yang aku tangkap dari berbagai sumber lalu pertanyaan selanjutnya..., Benarkah kita membangun negeri untuk segenap bangsa Indonesia? Atau kita membagun negeri ini hanya untuk segelintir orang saja yang satu ras dengan kita, satau agama kita atau bahkan satu kepentingan politis saja?
Bagi pembaca
yang lalu merasa resah dan bingung. Mungkin itulah menjadi tujuan penulis
mempublikasi tulisan ini. Faktanya adalah banyak pertanyaan ngambang yang belum
terjawab di Negeri ini. Dan kita yang tinggal di atasnya adalah siapa yang
harus menjawabnya.
Silahkan
berbingung-bingung ria! J
-Jati Lapuk-
Semarang, 17 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar