Minggu, 10 Agustus 2014

Teman Fatamorgana

Dear Jeng Ngatno,

Dia bukan seorang Dai yang selalu memberikan dalil-dalil sakti untuk menyulap daya sadar manusia yang kehilangan arah. Dia buka pendeta atau misionaris yang dermawan memberi kepada yang meminta-minta. Dia hanya seorang manusia sama seperti aku. Namun kini dia telah tiada.

Diambil dari Sampul Film "Tales of Waria" 
Aku tidak pernah bertemu dengannya. Namun, ocehan temanku yang kadang semakin menyakinkanku bahwa aku sudah ada berteman dengannya. Walau, hingga nafas terakhirnya dia belum bersedia bertemu denganku. Padahal, rasa penasaran akan sosok yang sering temanku ceritakan sungguh besar. Aku hanya ingin bilang bahwa dia telah memberikan aku banyak pelajaran berharga, dan lebih mensyukuri nikmat hidup yang telah diberikan.

Darinya aku mengerti bahwa sebenarnya cahaya Sang Maha pemberi hidup bisa datang dari mana saja bahkan dari sekecil lobang semut atau di tempat terkotor seperti selokan. Di tengah tempat ibadah yang selalu mengumbar kebencian dan cacian suci. Mereka yang berkedok jubah putih berucap bak malaikat yang bersungut anjing  atau tempat penuh dengan bau alkohol dan asap rokok ini yang justu memberikan pembelajaran kalau kita pandai menerka dan menangkapnya.

Late Post: Diskusi Gulai Kepala Ikan

Malam itu tidak hal yang spesial namun menggugah naluri tentang keingintahuan mengenai apa yang sedang sebenarna terjadi akhir ini terkait dengan permilihan presiden yang akan berlangsung sebentar lagi di negeri ini. Tulisan ini bukan artikel ilmiah yang layak untuk diperdepatkan kevalidannya. Namun ini adalah tulisan untuk mendokumentasikan keresahan segelintir genreasi muda. Dan sedikit memntik keingin tahuan dan menggugah kepedulian di belantara skeptisme yang kini sudah menyebar luas.

Sudah lama sekali kiranya penulis tidak berbicara mengenai keresahan yang ada di dalam diri dan mendiskusikannya. Kerinduan akan rak buku menulis, berdiskusi, perpustakaan, toko buku ala mahasiswa menjadi elemen yang sedikit menghilang karena kesibukan kerja dan rutinitas.

Kadang menjadi aku terus bersukur adalah pekerjaanku saat ini sangat dekat mereka-mereka yang resah dengan kedaan yang ada disekeliling mereka. Mereka yang selalu bertanya dengan jujur tetang apa yang mereka rasakan, dan merasa bahwa uang itu hanyalah selembar kertas bisu dan tidak membiarkan mereka mengendalikan pikiran ini. Mindset yang terbentuk oleh kelompok manusia modern yang mengatasnamakan martabat.

Setidaknya malam ini aku ingin mencurahkan apa yang aku rasakan setelah diskusi panas itu berlangsung. Berikut cuilannya:

Mebahasakan Kehilangan dengan Keindahan

Hi Pembaca!!!

Oi! oi! Oi! Akhirnya muncul juga setelah beberapa bulan ini aku menghilang dalam pusaran kerjaan haha, Mungkin kamu para pembaca akrab dengan sapaanku di awal artikel ini. Ya, sapaan akrab dari salah satu fans dari sebuah idol group di Indonesia. Namun aku tidak tidak membahas itu atau ingin mengikrarkan diri bahwa aku menjadi salah satu dari mereka, namun aku henda bercerita sedikit mengenai buku yang beberapa saat libur Lebaran kemarin aku jadikan kudapan ditengah jadwal kunjungan yang penuh serta perut yang penuh juga. hahaha, cekidot!!!

Judul Buku: Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis: Tere-Liye
Penerbit: Republika
Tahun Terbit: 2009
Tebal: 426 Halaman
Jenis Buku: Fiksi

Banyak rahasia Ilahi yang tidak dapat kita singkat dengan kedua tangan ini, dan tak bisa dituliskan oleh pena ini. Namun banyak yang merasa ketika mereka ada ditahap tersebut, mereka sadar bahwa penyesalan selalu datang tiba-tiba dan selalu di akhir.

Tahaan itu sering kita sebut sebagai Kehilangan. Kehilangan menjadi titik balik bagi setiap orang untuk memperbaiki diri secara komprehensif pada satu sisi, dan mengartikannya di sisi lain ketika ia mendapatkan momen itu untuk kedua kalinya.