Minggu, 10 Agustus 2014

Late Post: Diskusi Gulai Kepala Ikan

Malam itu tidak hal yang spesial namun menggugah naluri tentang keingintahuan mengenai apa yang sedang sebenarna terjadi akhir ini terkait dengan permilihan presiden yang akan berlangsung sebentar lagi di negeri ini. Tulisan ini bukan artikel ilmiah yang layak untuk diperdepatkan kevalidannya. Namun ini adalah tulisan untuk mendokumentasikan keresahan segelintir genreasi muda. Dan sedikit memntik keingin tahuan dan menggugah kepedulian di belantara skeptisme yang kini sudah menyebar luas.

Sudah lama sekali kiranya penulis tidak berbicara mengenai keresahan yang ada di dalam diri dan mendiskusikannya. Kerinduan akan rak buku menulis, berdiskusi, perpustakaan, toko buku ala mahasiswa menjadi elemen yang sedikit menghilang karena kesibukan kerja dan rutinitas.

Kadang menjadi aku terus bersukur adalah pekerjaanku saat ini sangat dekat mereka-mereka yang resah dengan kedaan yang ada disekeliling mereka. Mereka yang selalu bertanya dengan jujur tetang apa yang mereka rasakan, dan merasa bahwa uang itu hanyalah selembar kertas bisu dan tidak membiarkan mereka mengendalikan pikiran ini. Mindset yang terbentuk oleh kelompok manusia modern yang mengatasnamakan martabat.

Setidaknya malam ini aku ingin mencurahkan apa yang aku rasakan setelah diskusi panas itu berlangsung. Berikut cuilannya:

Itu semua di awali dengan pebicaraan mengenai Debat Capres yang beberapa hari yang lalu dilaksanakan kembali. Perang mulut antra dua belah kandidat yang disajikan dalam diskusi terhormat menjadi tontonan yang ditunggu oleh kalangan tertentu, yang sebenarnya kurang mempengaruhi hasil akhir dari pemilu yang beberapa hari lagi akan dilaksanakan.

Agaknya, memilih capres adalah seperti memilih apel busuk di keranjang. Dua-duanya dipetik pada masa yang sama namun di lumbung yang berbeda dan tentunya pohon yang berbeda. Tinggal kejelian kita dalam melihat, apel mana yang masih bisa kita nikmati dan mana mereka yang masih memiliki daging yang bisa dimakan untuk sekadar mengisi perut yang lapar.

Begitu pula calon-calon yang presiden dengan janji janji manis dan borok masa lalu yang dikemas dalam utopia visi misi yang lezat disajikan di depan para rakyat yang kelaparan. Mereka yang sudah lapar menunggu pemimpin yang bisa membawa mereka menuju kondisi yang lebih baik lagi dan lebih bermartabat. Pemimpin yang bisa mengayomi bukan pemimpin yang selalu bersembunyi dibalik kewibawaan di tengah rakyat yang tengah menjerit kesakitan karena jengah dengan orang – orang keminter itu.

Permasalahan yang terhampar luasnya siap menjadi hidangan pertama bagi siapa saja yang terpilih menjadi nahkoda di anjungan yang bernama Indonesia. Lambung kapal yang bocor gara-gara kita lebih memilih untuk menggunakan kayu keropos untuk menambalnya, layar yang terkoyak karena angin yang berhembus terlalu kencang dan nahkoda sebelumnya tidak tahu kemana arah seharusnya untuk menjaga agar anjungan ini terus berlayar.

Masih ingatkah kita dengan doktrin NKRI Harga Mati?? Doktrin yang sebenarnya sering kita dengarkan. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali para tikus parlemen kita selalu mengatakan pentingnya nasionalisme ditanamkan kepada generasi muda. Namun dibelakang pangung dengan bangganya mereka terus melelang kekayaan bumi pertiwi kepada konglomerat – konglomerat asing.  Mereka berkata pentingnya partisipasi politik aktif para rakyatnya namun di panggung mereka dengan asiknya bagi – bagi bingkisan bagi kolega mereka masing-masing.

Sekarang kini aku sadar kalau sekarang demokrasi pancasila sudah mati, UUD 45 sudah tidak pernah menjadi panglima di negeri ini lagi. Bagaimana bisa amanat para pendiri bangsa ini teracuhkan sedemikian lamanya. Bagaimana bisa negeri yang selalu dielu-elukan sebagai surga di dunia ini bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang berdiri di atasnya. Berikut ini adalah sedikit mencoba menyegarkan ingatan kita pada pasal yang dulu menjadi hafalan wajib di sekolah dasar (setidaknya pada masa penulis di bangku SD):

Pasal 33 UUD 45
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasrkan atas asaz kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
  3. Bumi, air dan kekakyaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan pergunakan sebenar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang

Dari pasal tersebut seharusnya menjadi pondasi kebijakan yang menjadi anaknya seperti UU atau bahkan perpres/kepres. Dasar pembuatan UU sumber daya air, mineral, pertambangan, komunikasi, tekonologi dan seterusnya. Namun mari kita simak fakta terbingkis dalam pertanyaan kristis yang kita sajikan dalam meja gulai kepala ikan:

  1. Masih ingatkah kita dengan detik-detik pada saat Indonesia keluar dari anggota OPEC (Ikatan bangsa-bangsa pengasil minyak bumi), tidakkah kamu bertanya-tanya setelahnya? Alasan yang masih penulis ingat adalah alasan bahwa kita tidak bisa memenuhi target OPEC dalam meningkatan produksi minyak bumi dunia. Namun tidak lama setelah itu segudang nama-nama perusahaan asing berbondong-bondong menlancong ke negeri ini dan mebangun Istana Minyak mereka masing –masing. Tidakah semenjak kita keluar dari anggora OPEC, mengaburkan tingkat produksi minyak kita setiap tahun?  Lalu apa yang menarik para investor minyak datang ke Negeri yang menjadi Ex-Anggota OPEC? Asumsi besarnya adalah abu-abukah kini kita melihat sekuat apa potensi negeri ini dalam bidang pertambangan dan mineral bumi?
  2. Pemerataan Pembangunan menjadi permasalhan yang tidak kunjung menemukan Jalan terang. Hingga kini Pulau Jawa selalu menjadi magnet pertumbuhan. Kita bisa mendapatkan apa saja disini mulai dari baju, penghidupan yang layak. Namun apakah kita sadar banyak saudara kita yang kini sedang tidur tanpa makanan diperutnya di sebarah timur Indonesia sana? Mereka yang  harus berenang, menuruni bukit, melewati belantara untuk menggapai kelas di sekolah mereka?  Kenapa Indonesia timur dengan segala kontribusi kekayaan alam yang mereka miliki bagi negeri ini selalu dianak tirikan dalam hal pembangunan?
  3. Pelanggaraaan HAM, Marilah kita kembali pada Pancasila yang menjadi pondasi pendefinisian kita mengenai apa itu demokrasi untuk kita sendiri. Kemanusiaan yang adil dan beradap adalah salah satu komponen penting bukan? Namun berapa banyak kasus pelanggaran HAM yang dimentahkan dan tidak tahu ujungnya bagaimana. Bagaimana akhir adari bab kasus Munir? Kasus 98? Kerusuhan Mei? Marsinah? Dan belum lagai segudang pemberondongan senapan TNI di bumi papua yang dulu bernama Irian Jaya? Dan lain sebagainya.
  4. Dan.... Fakta yang aku tangkap dari berbagai sumber lalu pertanyaan selanjutnya..., Benarkah kita membangun negeri untuk segenap bangsa Indonesia? Atau kita membagun negeri ini hanya untuk segelintir orang saja yang satu ras dengan kita, satau agama kita atau bahkan satu kepentingan politis saja?

Bagi pembaca yang lalu merasa resah dan bingung. Mungkin itulah menjadi tujuan penulis mempublikasi tulisan ini. Faktanya adalah banyak pertanyaan ngambang yang belum terjawab di Negeri ini. Dan kita yang tinggal di atasnya adalah siapa yang harus menjawabnya.
Silahkan berbingung-bingung ria! J


-Jati Lapuk- 
Semarang, 17 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar