Jumat, 31 Januari 2014

Sepenggal Cerita Di Benua Biru (Part II)

Swiss

Negeri Coklat dan Keju 

"2013 Europe Trip: 3 Month in 3 Country (Switzerland, Germany, Belgium)" 
Niedermuhlern Team and Friend
(From left: Jacob-Austria, Vicka-Ukraina, Sany-Indonesia, Anna-Hunggaria, Anna-Slovenia, Mihai-Rumania, Jascha-Swiss)

Bukan hal yang gampang mencapai negeri ini. Swiss dikenal sebagai negara para konglomerat. Jelas karena standar hidup mereka yang sangat tinggi bahkan dibandingkan dengan negara-negara eropa lainnya. Negeri ini juga terkenal dengan negara dengan kebijakan pajak surga, dimana semakin kaya anda maka semakin rendah pajak yang anda bayarkan. Namun, banyak perdebatan tentunya mengenai hal tersebut dari warga Swiss sendiri. Karena mau tidak mau kadang julukan tersebut menydutkan mereka dalam situasi tertentu dalam pergaulan global.



Itulah mengapa baru-baru ini pemerintah Swiss memperketat peluang para imigran untuk mendapatkan status warga negara Perancis. Temanku sekaligus neneku di Swiss bahkan membutuhkan waktu 20 tahun untuk akhirnya mendapatkan paspor perancis. Dia berasal dari Peru, Amerika Latin. Bagaimana tidak banyak orang ingin menjadi warga negara Swiss dengan iming-iming segudang jaminan hidup yang ditawarkan. Mulai dari asuransi kecelakaan, asuransi hunian, jaminan hari tua, jaminan pendidikan, dan masih banyak yang lainnya. Banyaknya imigran yang tinggal dan menetap di negeri ini juga menjadi permasalahan tersendiri bagi mereka.

Standar kehidupan tinggi tidak berarti mereka tidak memiliki permasalahan yang terus menurus merong-rong kemantapan mereka sebagai negeri. salah satu permasalahan yang menaik aku perhatikan adalah isu politik minoritas dan isu HIV/AIDS yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Permasalahn politik minoritas adalah bahasan yang sudah aku jelaskan di edisi sebelumnya dimana parpol yang berkuasa menyudutkan eksistensi pergerakan akar rumput yang dilakukan para umat muslim yang kebanyakan berasal dari Afrika dengan menghembuskan isu rencana dominasi umat Islam yang mengancam. Sedangkan HIV/AIDS menjadi isu yang mencuat setelah banyak pekerja seksual laki-laki yang tidak terpantau yang tersebar di negeri ini dimana banyak dari mereka yang sudah terinfeksi virus ini namun mereka tidak terbuka dengan pelanggan mereka.

Menikmati Suasana Area Pertanian Niedermuhlern 

Perjalananku di daratan putih Swiss berlabuh di sebuah lahan pertanian yang terletak sekitar 30 menit menggunakan Bus dari Ibu Kota Bern. Perjalanan panjang menuju desa ini cukup membuat aku tercengang. Di awali dengan perjalanan kereta dari Zurich ke Bern diteruskan dengan kereta sepesial (Kerata dengan pengait di antara rodanya untuk mempertahankan posisinya ketika akan naik ke dataran yang lebih tinggi) ke Kehrsatz kami para relawan bertemu di sana. Tim kami terdiri dari berbagai negara seperti Ukarina, Rumania, Slovenia, Honggaria, dan pastinya relawan Swiss yang menjadi camp leader kami.

***
Di sepanjang jalan mataku dimanjakan oleh hamparan lahan pertanian yang luas membentang. Mereka tidak menanam padi atau jagung secara massal akan tetapi rumput untuk ternak mereka. Ada beberapa titik lahan mereka yang ditanami berbagai macam tanaman seperti gandum, jagung, dan sayuran tapi kau tidak melihat berpetak-petak seperti di pulau Jawa.


Saat tiba aku langsung sekitika disambut oleh keramahan keluarga Christop and Sereina (mereka berasal dari Desa tersebut) dan memperkenalkan kita dengan keluarga mereka. Mereka memiiki dua anak laki-laki dan hidup berdampingan dengan dua keluarga lainnya di lahan pertanian itu Markus (pria yang berasal dari Jerman) dan Andrea (Asli berasal dari Swiss). Mereka bersama memiliki satu anak asuh yang memiliki kecatatan mental yang berasal dari Turki (dia lahir dari keluarga Muslim). Ya, mereka memiliki anak asuh perkebutuhan khusus dimana tidak ada lagi keluarga dan rumah sakit kejiwaan bahkan keluarganya yang mau menerimanya. Waktu bersama mereka tidak terlepas dari senyum kebahagian dalam keberagaman mereka.



Kehidupan mereka jauh dari bingar-bingar kehidupan kota. Mereka tinggal dengan damai dan sangat menyukai kesunyian. mereka menanaman sayuran, buah-buahan, menernak beberapa hewan, dan memproduksi energi sendiri untuk menghangatkan air di dirumah mereka. Ya, mereka sangat membutuhakan penghangat bahkan di musim panas, karena di malam hari ketika hujan datang suhu di luar bisa turun hingga 13 derajat celcius.

Salju Pertama di Musim Panas di Eropa

Pada hari itu bukan pekan. Namun, baik relawan atau petani di lahan pertanian itu mengerti kalau kita sudah melakukan banyak hal di hari-hari sebelumnya yang cukup membuat kita butuh penyegaran. Maka kami sepakat untuk menghabiskan waktu dengan pekerjaan yang cukup dapat membuat kita 'plong'. Pagi hari kita berangkat ke hutan terdekat untuk mengambil bunga-bunga untuk keperluan pembuatan obat bagi tanaman. Ya, obat untuk mengobati penyakit pada tanaman. Bunga ini berwana pitih namun ketika kita peras dengan mesin kita mendapatkan cairan bewarna hitam. Sungguh ini cara yang sangat alamiah untuk merawat tumbuhan tanpa bahan kimia buatan.



Setelahnya, teman petani kita yang bernama Markus menawari kita untuk pergi di Danau terdekat. Tanpa berfikir panjang kita langsung mengambil kesempatan tersebut. Dari hutan pemetikan buka tersebut hanya menghabiskan waktu 15 menit ke danau Grantischsiili. Danau ini dikelilingi pengunungan dengan sedikit salju sisa musim dingin di tahun sebelumnya masih tersisa. Danau itu tidak terlalu besar namun cukup luas untuk menghilangkan penat kejenuhan pekerjaan di lahal pertanian.


Seperti yang aku sebutkan di atas, mungkin para pembaca sudah berfikir pastinya airnya sangat dingin karena dikelilingi perbukitan. Jawabannya adalah tidak seratus persen Iya. Karena itu terlalu dingin untukku sebagai manusia yang tumbuh selama dua puluh tahun lebih di daerah tropis. Bagi mereka suhu kurang lebih 20 derajat air danau tidak terlalu dingin. Sedangkan aku cukup mencelupkan sepasang kakiku sudah cukup membuat aku merasa dingin dan aku tidak mau mencoba lebih jauh lagi dengan berenang di dalamnya. Jelas saja air ini berasal dari salju perbukitan yang mencair pada musim panas, ditambah lagi posisi danau ini yang dikelilingi oleh perbukitan menjadikannya jarang terkena sinar matahari dalam waktu yang lama.

Tawaran kejutan dari Markus tidak selesai sampai itu saja. Dia bilang kita masih punya banyak waktu karena di lahan pertanian dia memastikan belum banyak dari mereka pulang dari Kota mendistribusikan produk mereka. Dia mengatakan "would you like to climb that hill and touch your first snow?" then I said "yes!!". Itu merupakan momen yang bersejarah bagiku pribadi. Untuk pertama kalinya aku menyentuh salju also di musim panas di Eropa.



Demikian penggalan lain dari banyak lagi cerita yang ingin aku bagi dengan kalian. Di edisi selanjutnya aku ingin bercerita mengenai pengalamanku ketika dihadang hujan es di musim panas. Serta kisahku saat aku memasak hidangan Indonesia di Hari Nasional Swiss yang dirayakan pada 1 Agustus tahun lalu.  

See you pals!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar