Senin, 25 Juli 2016

Plan A VS Plan B, Pilih yang mana?

Selamat Hari Senin Pembaca!


Dokumen Pribadi: Perjalan di Bulgaria di akhir tahun 2015. Berdiri di belakang saya adalah patung sang penulis sejarah orang Bulgaria pertama

Sebelumnya saya ingin meminta maaf kepada para pembaca terkait jeda yang sangat panjang untuk akhirnya saya kembali mengunggah tulisan saya ke dunia maya. Banyak hal yang melatarbelakanginya, salah satunya adalah kesibukan mencari tempat kerja baru di beberapa bulan terakhir. 

Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi mengenai sudut panjang saya mengenai hal 'perencanaan' (Eng: Planning). Sudut padang saya ini dipengaruhi sebagaian besar dari pengalaman kerja saya sebagai pekerja sosial dan sebagai seorang yang berkecimpung cukup lama di dunia kerelawanan internasional dalam 5 tahun terakhir. 

Plan A, Plan B hingga Plan Z sering kita dengarkan di sela-sela rapat atau pertemuan dengan tim kerja kita atau kolega kita di tempat kerja. Pertemuan tersebut kadang sering kali membahas mengenai perencaaan program, kegiatan, hingga penganggaran. Namun, muncul pertanyaan yang ada dibenak saya pada saat itu terjadi. 
"Seberapa besar energi yang kita curahkan untuk membuat rentetan perencanaan alternatif tersebut?" 
Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya mulai mencari jawaban yang tepat agar pertanyaan tersebut tidak terus menganggu setiap kali saya menghadapi hal yang sama di kemudian hari. Jelas saja hal itu sangat mengganggu, alangkah besar tenaga yang saya alokasikan pada saat itu jika saya alokasikan di ranah implementasi atau monitoring. Sering kita melihat di negeri ini, bahawa segala 'california dream' yang kita masak di meja perencanaan akhirnya melempem karena keadaaan lapangan jelas telah bergerak maju jauh dari kondisi yang kita temui saat kita di tahap perencanaan. 

Inilah yang saja kira menjadi penyakit turun menurun yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di sekolah hingga ranah kuliah kita dianjurkan untuk melakukan tersebut. Di masa keemasan sebagai kaum akademia di kampus, bisa dibilang menjadi puncak dari kepercaaan saya dari metode ini. Doktrinisasi mengani fleksibilitis di jawab dengan fariasi perencanaan yang kita buat dan kita ajukan adalah dua hal yang sangat serasi pada saat itu. 

Namun, perlu kita cermati bahwasanya masa digdaya sebagai mahasiswa, adalah dunia penuh dengan tirai-tirai yang  belum kita sibak satu persatu. Tirai itu dalah fakta-fakta lapangan atau ranah realitis yang seringkali tertutup oleh konsep "scoring" atau saya sering menyebutnya sebagai 'penjara nilai'. Adalah konsep sekolah konvensional yang masih kita gunakan di masa kuliah. Seseorang dalam lingkungan tersebut akan merasa puas ketika dia mendapat nilai A atau A+ di studinya. Sedangkan mereka yang mendapatkan D atau E adalah pencundang yang akan selamanya ada di jurang paling dalam hingga mereka tidak dalam melihatnya. 

Pada saat itu, saya bukan mahasiswa kupu-kupu yang siklus kehidupannya terjebak di segitiga bermuda yakni kampus, kantin, dan kasur. Namun saya adalah penikmat diskusi, buku sang revolusioner, ataupun mengidolakan si pemberontak. Namun, imbas domino dari doktrinasi ala kampus tersebut sudah mendarah daging hingga saat ini hasil dari penempaan selama kurang lebih lima tahun. Kontradiksi itu akan tetap ada karena rimba realita itu lebih kejam daripada ketokan pulpen di meja pengadilan skripi. Betul bukan? 

Dokumen Pribadi: Anekdot mengenai Uni Sovyet
di Bulgaria adalah hal yang umum kita lihat di era kini
Dalam hal ini saya ingin membahasanya satu per satu untuk mencoba memecahkan jawaban dari bertanyaan di atas: 

1. Mengartikan kembali apa hakikat dari 'Perencanaan' 

Merupakan tahapan awal dari sebuah proses, program, kegiatan, acara atau aktivitas yang bisanya melibatkan paling tidak dua orang dan/atau lebih dari itu. Perencanaan juga tidak dapat berdiri sendiri, dia selalu diikuti dengan perencanaan yang lain. Perencanaan itu juga bisa desebut dengan bertemunya idealisme dan fakta-fakta di lapangan sehingga muncul sebuah rancangan rekayasa kondisi yang diharapkan. Rekayasa kondisi merupakan kesepakatan proses yang kita ingin untuk mendapatkan umpan balik yang diharapkan. 

Hal sederhana semisal, ketika Sari ingin mendapatkan segelas susu segar bersama dua sahabatnya, maka dia memulai perencanaan dan menjawab pertanyaan masyarakat modern yaitu 5W+1H (What, When, Why, Where, Who, & How) dan hasilnya kamu ingin minum susu segar bersama dua temanmu si Andi dan si Budi di Kafe 'Spesial', dan akan berangkat bersama dengan bus sore ini jam 5. 

Asumsikan saja Sari berada pada koridor waktu pagi di hari yang sama. Lalu dia dihadapkan dengan faktor-faktor di lapangan atau sebut saja faktor eksternal atau motivasi dari sahabat kita atau sebut saja selanjutnya faktor eksternal. Pada hari tersebut diprakiraaan akan terjadi hujan deras di malam hari antara jam 6 hingga jam 10. Sari merencanakan untuk berada di Kafe selama 3 jam, dengan fakta tersebut pasti mereka akan mendapatkan kesulitan pada saat mereka pulang. Mengingat mereka berangkat menggunakan motor saja. Belum lagi isi sms balasan kesediaan Andi yang mengeluhkan mengenai kesehatannya. Analsis ini sering kita sebut sebagai S.W.O.T (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)

2. Seberapa fleksibel rencana yang kita harapkan? 

Dokumen Pribadi: Suasana Pasar Tradisional
di salah satu sudut Kota di Bulgaria
Sari sebagai inisiator kegiatan tersebut, dia bisa melakukan dua kemungkingan yakni menghiraukan informasi di atas atau mengacuhkannya. Ketika dia menghiraukan dia harus memikir rencana untuk kedua kalinya. Jika dia mengabaikannya dia bisa saja merencanakan acara kumpul-kumpul yang lainnya atau mengecek kondisi motornya yang ternyata sudah satu bulan belum diservis. 

Dalam ranah yang lebih besar, kegagalan terbesar dri sebuah organisasi, perusahaan, institusi adalah pengecekan kesiapan komponen-komponen yang akan mereka gunakan untuk menjalankan rencana mereka. Sering sekali mereka menginvestasikan waktu dan uang terlalu banyak pada perencanaan dengan dalih mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, yang mereka  dapatkan di akhirnya hanyalah capaian yang tanggung atau melenceng dari rencana selanjutnya. 

Seorang Sari bisa saja mengubah rencananya untuk hanya sekedar menghabiskan waktu di Kafe tersebut selama 1 jaam saja untuk menghindari hujan yang akan menghadang jalan pulang mereka. Namun, Sari bisa saja memilih tidak memikirkannya dan menutamakan waktu mereka berbagi karena itu jarang mereka lakukan selama 1 tahun terakhir ini. 

Perusahaan, organisasi, atau institusi bisa aja memilih memantapkan kesiapan komponen, mesin atau sumber daya manusia yang mereka miliki tinimbang sibuk membuat rencana yang lain jika perecanaan awal tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Atau jika kita mau menatapkan perencanaan kita bisa mereview rencana kita agar lebih stabil dan strategi untuk menjawab tantangan-tantangan yang ada. 
"Jadi, membuat rencana B dari rencana A sama saja merencanakan kegagalan rencana A? Lalu apa tujuan dari anjuran tersebut?" 
YA! Fleksibilitas seharusnya merupakan daya penyesuaian sebuah perencanaan terhadap fenomena-fenomena lapangan pada masa implementasi. Tinggi atau rendah daya penyesuaian sebuah rencana terletak pada kedetilan sebauah rencana dipengaruhi dengan faktor eksternal yakni kemampuan praktis implementor sendiri. Jika kedua hal tersebut dalam bekerjasama dengan baik maka kita mendapai output yang kita harapkan dan outcome yang telah kita rencanakan.

Dalam kasus Sari, jika dia mau rencanannya berjalan dengan baik, maka yang dia perlu lakukan misalkan menyiapkan 3 jas hujan karena dia tahu kalau dua sahabatnya adalah pangeran pelupa.

Demkian ulasan saya mengenai aspek 'perencanaan'. Silahakn tinggalkan komentar di bawah. ;)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar