Selasa, 07 Agustus 2018

Untuk Wanita Indonesia, Tetaplah Bermimpi!

#WanitaIndonesia

#SiapaBilangGakBisa

Karena saya bilang kamu BISA!


Mengutip dari salah satu penyanyi favorit saya. "Perempuan Indonesia hidupnya berat sekali karena omongan orang lain. Banyak wanita yang terpaksa melupakan mimpi-mimpi mereka karena mereka TAKUT" -Anggun-

Jauh setelah masa Kartini, apakah emansipasi atau kesetraaan gender benar-benar terjadi di Indonesia. Saya berikan contoh, tanpa menyebutkan nama satu per satu teman-teman wanita saya di desa sekitar Kabupaten Tegal. Sangat membekas di ingatan masa kecil saya. Mata mereka berkaca-kaca memaparkan mimpi mereka di depan kelas. Semua profesi terlontarkan waktu itu, wartawan, guru, pramugari, model dokter bahkan seorang seniman.


Kini Sudah 20 tahun berlalu, saya memutuskan untuk tinggal di Semarang. Beberapa kali kesempatan saya pulang ke kampung halaman saya dan bertemu dengan beberapa teman masa kecil saya. Kami tidak lagi membicarakan mimpi kita. Omongan kita hanya seputar menanyakan kabar masing-masing. Namun, sedih yang saya rasakan di tengah pembicaraan, mendengar mereka yang harus menyerahkan dan melupakan mimpi-mimpi dibawah kungkungan keluarga, status sosial, dan status pernikahan.

Dengan TEGAS bahwa: Saya tidak menyalahkan pihak-pihak yang mengungkung mereka pada akhirnya. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa di balik sampul cantik partisipasi wanita di parlemen di Jakarta yang secara statistik terus terjadi peningkatan, tersembunyi fakta bahwa masih banyak jutaan wanita di Indonesia yang takut untuk bermimpi.

Mereka TAKUT karena pada akhirnya mereka harus menyerah bahwa mereka pada akhirnya 'hanya seorang wanita' dan seorang Istri adalah profesi seumur hidup dan menjadi momok mereka untuk mengentikan mimpi-mimpi mereka. Apalagi ketika mereka yang hidup di kawasan pedesaan dimana mereka juga harus menghadapi bursa kerja yang tidak ramah untuk gender mereka. Rasa khawatir atas pelecehan lelaki otak kotor, bos yang merendahkan satus sosial mereka dan lain-lain. Agaknya tekanan itu begitu berat, sehingga pada akhirnya mereka harus mengubur mimpi-mimpi masa kecilnya.

Di Kota Semarang pun tidak luput dari cerita yang sama. Tanpa saya menyebutkan dimana itu terjadi, untuk menjaga privasi segala pihak. Para pekerja wanita di sektor informal lah yang mendapatkan tekanan paling besar. Mereka dilecehkan dengan rayuan-rayuan dan tidak sedikit dari mereka yang sebenarnya sudah berkeluarga. Tapi, ironi pada akhirnya saya temukan, bahwa kedua belah pihak (yang melecehkan dan yang dilecehkan) sudah menganggap itu menjadi hal yang biasa bahkan lumrah dilakukan. Apalagi antara atasan dan bahawan. Namun, di akhir cerita wanita selalu menjadi korban dengan menanggung satus 'gampangan'

Banyak fakta yang saya temukan bahwa belenggu yang tidak tampak tersebut masih ada dan menghantui wanita Indonesia. Membuat mereka, yang menjadikan status istri, pernikahan menjadi alat jitu mereka untuk bersembunyi. Padahal, faktanya mereka harus mendapatkaan kekerasan dalam bentuk yang lain yakni KDRT baik psikis, atau non-psikis.

Sialnya, semua jenis dukungan dengan berbagai pendekatan baik kelembagaan, profesional, hingga persahabatan menjadi MENTAH, ketika mereka yang mau kita angkat martabatnya tidak bersedia. Mereka sudah terlanjur pesimistis bahkan depresi terhadap masa depan mereka. Karena mereka 'diikat' status 'istri', 'ijin suami', 'masa depan anak', 'pendidikan anak', 'apa kata mereka', dan lain sebagainya

Saya seorang suami, Istri adalah wanita yang paling dekat dengan saya. PERUBAHAN harus dimulai dari RUMAH. Buatlah rumah kita ramah terhadap wanita. Yang saya lakukan adalah mempertemukan mimpi saya dengan Istri saya. Saya memilih profesi yang membuat Istri saya bisa tetap meraih mimpi-mimpinya dengan berwirausaha. GAJI atau BONUS bukan prioritas kami pada saat ini. Hanya motivasi yang kita tumbuhkan bersama dan fokus pada mimpi kami. Ini cara kami. Anda mungkin punya cara yang berbeda.

Anda pada suami dan lelaki di luar sana. Angkatlah martabat mereka sebagai seoarang wanita. Buat mereka bangga sebagai wanita. Karena kita lah gender yang sudah dimanjakan berabad-abad sejak planet ini ada Kita punya tanggung jawab untuk mewujudkan negeri yang lebih ramah bagi wanita. Harus mulai melihat wanita di rumah kita (Istri, Ibu, Mertua, Saudara, dll) bukan hanya sekedar pengganti asisten rumah tangga (ART) karena gaji anda belum bisa mengajinya. Atau ketika anda bisa membayar seorang ART pun, wanita di rumah anda bukan boneka yang anda bisa rias sesuka hatimu dengan harta, dan make up mahal atau memar bekas pukulanmu, hingga dalil ampuh untuk terus memenjarakan mereka, untuk menutupi kesedihan mereka ketika pada akhirinya mereka harus menguburkan mimpi-mimpinya untuk ambisimu sebagai seorang lelaki. Saatnya berkata KITA, bukan lagi 'aku'.

Catatan Sany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar